Wednesday 8 December 2004

Para Suami, Rezekimu Adalah Doa dan Harapan Keluarga

Lelaki itu pergi keluar rumah dengan dilepas anak istrinya.

"Hati–hati ya Bang," kata sang istri.

"Banyak do'a ..."

"Ati-ati ya Ayah... " sambung sang anak.

"Iya... do'akan ayah dapat rezeki ya"

"Assalaamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam"

eramuslim - Isteri. Siapapun suaminya ada sebuah harapan untuk dapat bergantung kepadanya. Semua juga mengetahui, tidak ada sumber bergantung selain Allah, namun Allah juga memberikan kita amanah anak dan isteri sebagai bentuk peranjangan tangan-Nya untuk memberi rezeki dari tangan para suami.

Segala do'a dipanjatkan para isteri di rumah-rumah mereka. Semua keprihatinan mampu ditelannya bahkan kadang dengan terus 'menjunjung tinggi' martabat suaminya.

Hari ini aku melihat pemandangan yang menggugat sisi keperempuananku lagi. Percakapan para perempuan di kampung.

"Laki-laki itu mbak, kalau pas ndak punya uang, pas seret, dagangannya ketipu, bilangnya ke kita... tapi kalau pas punya uang, kadang lebih suka nyari kesenangan sendiri. Atau malah kongkow sama teman-temannya"

Aku terus berminat mendengarnya. Jiwa penulisku terprovokasi.

"Panjenengan mungkin belum terasa, tapi banyak lho mbak di kampung kita ini, laki-lakinya seenaknya. Mereka kok sepertinya takut kalau kita- para istri- ini tau kalau mereka punya uang"



"Padahal apa ya yang kita tuntut? Kan sebenarnya sekadar kepantesan urip, wong kalau ndak punya uang kita ya ndak ndremis bahkan mikir gimana carane biar tetap bisa ngatasi persoalan rumah. Kadang malah utang-utang segala"

Aku berusaha empati dengan sesekali berkomentar pendek sambil manggut-manggut 'oh... gitu ya, bu? Mmm...'

"Lha coba, kita ini kan setiap hari berdo'a tho mbak buat suami-suami kita. Kesabaran kita dipress, biar ndak ngomong yang bikin sakit ati, lha kok kalau ada rezeki dhelik-dhelikan? Malah kadang kita kethiyelan, ikut usaha sana-sini. Gimana coba?"

Aku menghela nafas sambil sesekali mencoba menghibur diri. Lalu mereka melanjutkan,

"Makanya kadang aku judes juga. Tak minta aja uangnya, kadang tak ambil diem-diem. Kepekso mbak, akhirnya kan kita jadi ndak ngajeni tho? Kalau sudah gitu nanti katanya kita ini ndak ngerti keadaane suami"

Ah... aku seorang anak, aku sekarang pun seorang istri.

Mungkin percakapan itu tidak bisa hanya menyalahkan para perempuan yang tidak bersyukur, atau perempuan yang mungkin terpaksa 'mencuri' uang suaminya.

Lagi-lagi ada yang tidak seimbang di kehidupan mereka dan mungkin juga di kehidupan kita. Aku membayangkan wajah ayahku, ibuku, suamiku. Kini aku juga seorang istri, yang nafkahnya mengalir dari Allah melalui tangan suamiku.

Aku teringat sebuah hadits bahwa di dalam rezeki kita ada rezeki orang-orang dhuafa di sekitar kita. Bukankah anak dan isteri termasuk orang-orang lemah di sekitar para suami? Bukankah do'a dan harapan mereka atas kepulangan suami dan ayahnya begitu besar?

Benar bahwa rezeki di tangan Allah dan jika rezeki itu telah sampai ke tangan kita, bukankah itu pengingat bahwa berapa pun hasilnya, ada hak-hak yang harus kita tunaikan dengannya.

Bagaimana jika di setiap keping rezeki kita tidak ada do'a dan dan harapan orang-orang lemah? Bukankah keberkahannya akan berkurang?

Sekali lagi...

Isteri adalah manusia yang menyandarkan hidup pada kasih sayang suami, dan ia manusia biasa yang bisa sedikit-demi sedikit terpupus kepercayaannya. Hak dan kewajibannya semestinya dipenuhi para suami dengan imbang. Sungguh, ini bukan hanya masalah memberi uang belanja, bukan melarang para suami memberi untuk orang lain dan menunaikan kebaikan-kebaikan lain dengan hartanya. Sungguh, ini bukan masalah uang. Ketidakseimbangan bisa berwujud perhatian lain meski sekadar bertanya tentang betapa letihnya seorang isteri, misalnya.

Pelajaran lain dari rumpian ibu-ibu tadi adalah betapa kepercayaan menjadi begitu berarti. Jika kepercayaan dan rasa baik sangka telah tercabut dari seorang istri atau suami. Maka, ya seperti kita baca tadi. Seorang suami merasa 'enggan' memberikan hak isterinya, bahkan sampai tingkat yang keterlaluan merasa 'bosan' harus memberikan hak kesehatan, kebutuhan rumah tangga, bahkan mungkin secara tidak sadar berpikiran, ah... paling nanti dia juga bisa mengatasi sendiri masalahnya. Seorang isteri merasa suaminya begitu pelit dan satu-satunya jalan mendapatkan 'nafkah' adalah dengan mengambil diam-diam.

Maka benarlah bahwa adil mendekati takwa. Maka benarlah bahwa sebaik-baik kita adalah yang paling baik pada keluarganya. Sebab isteri dan anak-anak kita belajar dari apa yang kita lakukan. Menyedihkan jika dalam sebuah rumahtangga berlaku aturan: kalau hak saya nggak diberi maka saya akan merampasnya! Maka wahai para suami, sesungguhnya dalam rezekimu ada do'a dan harapan istri dan anak-anakmu.

Rabiah Al-Adawiyah

r_aladawiyah@yahoo.com

No comments:

Post a Comment