✂ *Bagaimana cara memutus siklus Anak Nakal?* ✂
Saat ngopi bareng mas Dodik Mariyanto di teras belakang rumah, iseng2 saya buka obrolan dengan satu kalimat tanya :
_"Mengapa anak baik biasanya semakin baik, dan anak nakal biasanya semakin nakal ya mas?"_
Mas Dodik mengambil kertas & spidol, lalu membuat beberapa lingkaran.
_"Wah suka banget, bakalan jadi obrolan berbobot nih"_, pikir saya ketika melihat kertas dan spidol di tangan mas Dodik.
Mas Dodik mulai menuliskan satu hadist:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
_"Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua”_
Artinya, setiap anak yang baik, pasti membuat ridho orangtuanya, hal ini akan membuat Allah Ridho juga.
Tapi setiap anak nakal, pasti membuat orangtuanya murka, dan itu akan membuat Allah murka juga.
_"Kamu pikirkan implikasi berikutnya & cari literatur yang ada untuk membuat sebuah pola"_ , tantang mas Dodik.
Waaa pak Dosen mulai menantang anak baik ya, suka saya.
Setelah membolak balik berbagai literatur yang ada, akhirnya saya menemukan satu tulisan menarik yang ditulis oleh kakak kelas mas Dodik, yaitu mas Dr. Agus Purwanto DSc.
Di sana beliau menuliskan bahwa anak nakal dan anak baik itu bergantung pada ridho dan murka orangtuanya.
Akhirnya kami berdua mengolahnya kembali, menjadi siklus anak baik dan siklus anak nakal:
📝 Siklus Anak Baik
Anak Baik -> orangtua Ridho -> Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak makin baik
📝 Siklus Anak nakal
Anak Nakal -> orangtua murka -> Allah Murka -> keluarga tidak berkah -> tidak bahagia -> anak makin nakal
Kalau tidak ada yang memutus siklus tersebut, maka akan terjadi pola anak baik akan semakin baik, anak nakal akan semakin nakal.
*Bagaimana cara memutus siklus Anak Nakal?*
ternyata kuncinya bukan pada anak melainkan pada ORANGTUANYA.
Anak Nakal -> ORANGTUA RIDHO -> Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak jadi baik
Berat? iya, maka nilai kemuliaannya sangat tinggi. Bgm cara kita sbg ortu/guru bisa ridho ketika anak kita nakal?
*Ini kuncinya :*
........ َإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ“
.... _"Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."_
(QS 64:14)
🍃 *CARA ORANGTUA RIDHO adalah..*
Menerima anak tersebut, memaafkan dan mengajaknya dialog, rangkul dengan sepenuh hati, terakhir lupakan kesalahannya.
Lalu, sebagai pengingat selanjutnya, kami menguncinya dgn pesan dari Umar bin Khattab
_"Jika kalian melihat anakmu/anak didik mu berbuat baik, maka puji dan catatlah, apabila anakmu/anak didikmu berbuat buruk, tegur dan jangan pernah engkau mencatatnya."_
- Umar Bin Khattab
🌴 *Smg bermanfaat....*🌴
Saturday 11 March 2017
Saturday 4 March 2017
Arti sebuah Kerinduan
Sungguh sangat manusiawi,
Seseorang yang terbesit rasa rindu dihati,
Pada sesiapa yang terkasih.
Bukankah Allah menciptakan rasa itu tuk dijaga,
Bukan untuk dimatikan,
Ataupun dihilangkan,
Dan yang terpenting adalah keseimbangan.
Salah satu ciri seorang yang beriman adalah ketika
disebut nama Allah maka bergetarlah hatinya.
Bergetar karena takut akan azab-Nya,
Bergetar karena mengharap Ridho-Nya,
Dan bergetar karena rindu ingin berjumpa dengan-Nya.
Seseorang apabila nama yang dikasihi disebut
didepannya,
dan ia tak merasakan getaran maka dipertanyakan
kecintaan dan
kerinduannya, maka Allah menggambarkan dalam
firman-Nya tuk hamba-hamba-Nya yang merindui-Nya:
"..dan apabila disebut nama Allah maka bergetarlah
hatinya.."
( An Anfal:2)
Bayangkan...
hanya dengan disebut nama-Nya maka bergetar hatinya...
Bagaimana dengan hati ini?
Cintakah kita dengan-Nya?
Rindukah kita dengan-Nya?
Dalam Hadits Qudsi Allah berfirman :
" Sesungguhnya Aku sesuai dengan prasangka hambaKU.."
Bila hati ini rindu kepada-Nya,maka Ia kan rindu,
Bila hati ini ingin berjumpa dengan-Nya,maka Ia kan
mengharapkan berjumpa,
Subhanallah bahagia orang yang merasakan getaran
ketika nama Allah
Disebut.
Jangan katakan kita cinta Rasul, kalau hati tidak
bergetar
ketika mendengar nama Rasul.
Jangan katakan kita merindukan Rasul kalau hati tak
bergejolak
ketika nama Rasul disebut.
Begitu juga ketika seseorang merindui seseorang yang
dikasihi,
ingin hati berjumpa, mendengar dan bicara dengannya.
Walaupun satu kata yang terlontar dari orang yang
dirindui,
Itu kan mengobati rasa rindu
Subhanallah Maha Suci Allah yang menciptakan rasa
rindu,
Setiap orang mempunyai rasa rindu,
seorang lelaki rindu seorang istri sholehah,
seorang wanita rindu seorang suami sholeh,
seorang yang beriman rindu akan kebenaran,
seorang yang bertakwa rindu berjumpa dengan Allah.
Ya Rabb syukur aku telah kau anugerahkan dengan
rindu..
Ya Rabb jawablah rindu ini...
Ya Rabb kumpulkan aku bersama orang yang merindui
Mu...
From : DT milis
Seseorang yang terbesit rasa rindu dihati,
Pada sesiapa yang terkasih.
Bukankah Allah menciptakan rasa itu tuk dijaga,
Bukan untuk dimatikan,
Ataupun dihilangkan,
Dan yang terpenting adalah keseimbangan.
Salah satu ciri seorang yang beriman adalah ketika
disebut nama Allah maka bergetarlah hatinya.
Bergetar karena takut akan azab-Nya,
Bergetar karena mengharap Ridho-Nya,
Dan bergetar karena rindu ingin berjumpa dengan-Nya.
Seseorang apabila nama yang dikasihi disebut
didepannya,
dan ia tak merasakan getaran maka dipertanyakan
kecintaan dan
kerinduannya, maka Allah menggambarkan dalam
firman-Nya tuk hamba-hamba-Nya yang merindui-Nya:
"..dan apabila disebut nama Allah maka bergetarlah
hatinya.."
( An Anfal:2)
Bayangkan...
hanya dengan disebut nama-Nya maka bergetar hatinya...
Bagaimana dengan hati ini?
Cintakah kita dengan-Nya?
Rindukah kita dengan-Nya?
Dalam Hadits Qudsi Allah berfirman :
" Sesungguhnya Aku sesuai dengan prasangka hambaKU.."
Bila hati ini rindu kepada-Nya,maka Ia kan rindu,
Bila hati ini ingin berjumpa dengan-Nya,maka Ia kan
mengharapkan berjumpa,
Subhanallah bahagia orang yang merasakan getaran
ketika nama Allah
Disebut.
Jangan katakan kita cinta Rasul, kalau hati tidak
bergetar
ketika mendengar nama Rasul.
Jangan katakan kita merindukan Rasul kalau hati tak
bergejolak
ketika nama Rasul disebut.
Begitu juga ketika seseorang merindui seseorang yang
dikasihi,
ingin hati berjumpa, mendengar dan bicara dengannya.
Walaupun satu kata yang terlontar dari orang yang
dirindui,
Itu kan mengobati rasa rindu
Subhanallah Maha Suci Allah yang menciptakan rasa
rindu,
Setiap orang mempunyai rasa rindu,
seorang lelaki rindu seorang istri sholehah,
seorang wanita rindu seorang suami sholeh,
seorang yang beriman rindu akan kebenaran,
seorang yang bertakwa rindu berjumpa dengan Allah.
Ya Rabb syukur aku telah kau anugerahkan dengan
rindu..
Ya Rabb jawablah rindu ini...
Ya Rabb kumpulkan aku bersama orang yang merindui
Mu...
From : DT milis
Ketika Cinta Berbuah Dilema
Untuk apa memertahanakan Cinta yang hanya membuat kita semakin jah dari-Nya ??
Artikel pndek ..,ini mnyimpan makna yang cukup ....(-:
sekaligus .., menegur kita ..., yang sedang terjebak dalam gelombang cinta yang
"terlarang"..
Semoga Allah selalu membimbing kita semua. Amin
***
eramuslim - Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Sayidina Ali, suaminya. "Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika aku masih gadis dulu."
"O ya," tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. "Siapakah lelaki terhormat itu, dinda?"
"Lelaki itu adalah engkau, sayangku," jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali tersenyum dan semakin mencintai isterinya.
Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali di atas mungkin sudah menjadi hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak bagi mereka yang belum menikah. Percakapan-percakapan romantis yang sering ditemukan dalam buku-buku pernikahan itu sungguh sangat imajinatif bagi para lajang yang sudah merindukan pernikahan, sekaligus juga misteri, apakah ia bisa seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?
Alangkah bahagianya, seorang pemuda yang sejak lama memimpikan obrolan-obrolan romantis akhirnya sampai di terminal harapan, sebuah pernikahan suci. Apa yang selama ini menjadi imajinasinya saat itu akan ia ungkapkan kepada isterinya. "Wahai kekasihku, ada satu kata yang dari dulu terpenjara di hatiku dan ingin sekali kukatakan kepadamu, aku mencintaimu."
Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka yang telah dikaruniai kemampuan untuk mengikat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidha), pernikahan itu. Bagi mereka yang masih harus melajang, semuanya masih hanya mimpi yang terus menggoda.
Terkadang, ada pemuda yang tidak kuat melawan godaan imajinasinya. Keinginan untuk mengungkapkan cinta itu tiba-tiba sangat besar sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu harus diungkapkan? Sementara isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata pacaran sudah lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar, begitu dahsyat.
Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat koordinasi di organisasi kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari sekolah telah mempertemukan dua pesona. Imajinasi itu kembali menari-nari.
"Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang kuimpikan selama ini."
"Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya yang kalem, dia mungkin yang kuharapkan."
Dan cinta itu hadir.
Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat perjanjian yang berat belum sanggup dilakukan. Lalu apa yang harus dilakukan ketika dorongan untuk mengatakan perasaan semkain besar, teramat besar? Hingga perjumpaan dengannya jadi begitu mengasyikkan; menerima sms-nya menjadi kebahagiaan; berbincang dengannya menjadi kenikmatan; berpisah dengannya menjadi sebuah keberatan; ketidakhadirannya adalah rasa kehilangan.
Indah. Tapi ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yang semakin longgar telah menggiring mereka kepada dua dinding dilema yang semakin menyempit dan begitu menekan. Cinta terlanjur hadir. Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah, persiapan belum cukup atau kondisi belum mendukung. Menunggu pernikahan, seminggu saja serasa setahun. Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta terlanjur bersemi. Menjalani interaksi seperti biasa, semuanya membuat hati semakin merasa bersalah.
Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan sangat panjang lebar jika yang dijadikan landasan adalah realita dan logika. Tetapi, marilah kita bicara dengan nurani dan keimanan, agar semua bisa terselesaikan dengan cepat dan tuntas.
Tanyakan kepada nurani tentang keimanan yang bersemayam di dalamnya? Masihkah memiliki kekuatan untuk mempertahankan Allah sebagai nomor satu dan satu-satunya?
Dengan kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa mengeliminir cinta kepada seseorang yang telah menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari keridhaan Allah? Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci Dzat yang sangat kita harapkan cinta-Nya?
Tanyakan pada keimanan dan nurani, siapa yang lebih dicintai, Allah ataukah "dia"?
"Qul Aamantu Billahi tsummastaqim!" (al-Hadits)
Wallahu a'lam.
***
Special untuk mereka yang sedang terjebak dalam lorong-lorong dilema bernama "cinta". Buat kawan-kawan seperjuangan di Kairo, Tafahna al-Asyraf, dan Zaqaziq, Mesir, kuatkan hatimu! Jadilah pemenang melawan sisi lain hatimu! Bersama doa dan cintaku.
Zamzam muharamsyah
zetth_two@yahoo.com
Artikel pndek ..,ini mnyimpan makna yang cukup ....(-:
sekaligus .., menegur kita ..., yang sedang terjebak dalam gelombang cinta yang
"terlarang"..
Semoga Allah selalu membimbing kita semua. Amin
***
eramuslim - Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Sayidina Ali, suaminya. "Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika aku masih gadis dulu."
"O ya," tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. "Siapakah lelaki terhormat itu, dinda?"
"Lelaki itu adalah engkau, sayangku," jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali tersenyum dan semakin mencintai isterinya.
Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali di atas mungkin sudah menjadi hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak bagi mereka yang belum menikah. Percakapan-percakapan romantis yang sering ditemukan dalam buku-buku pernikahan itu sungguh sangat imajinatif bagi para lajang yang sudah merindukan pernikahan, sekaligus juga misteri, apakah ia bisa seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?
Alangkah bahagianya, seorang pemuda yang sejak lama memimpikan obrolan-obrolan romantis akhirnya sampai di terminal harapan, sebuah pernikahan suci. Apa yang selama ini menjadi imajinasinya saat itu akan ia ungkapkan kepada isterinya. "Wahai kekasihku, ada satu kata yang dari dulu terpenjara di hatiku dan ingin sekali kukatakan kepadamu, aku mencintaimu."
Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka yang telah dikaruniai kemampuan untuk mengikat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidha), pernikahan itu. Bagi mereka yang masih harus melajang, semuanya masih hanya mimpi yang terus menggoda.
Terkadang, ada pemuda yang tidak kuat melawan godaan imajinasinya. Keinginan untuk mengungkapkan cinta itu tiba-tiba sangat besar sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu harus diungkapkan? Sementara isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata pacaran sudah lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar, begitu dahsyat.
Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat koordinasi di organisasi kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari sekolah telah mempertemukan dua pesona. Imajinasi itu kembali menari-nari.
"Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang kuimpikan selama ini."
"Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya yang kalem, dia mungkin yang kuharapkan."
Dan cinta itu hadir.
Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat perjanjian yang berat belum sanggup dilakukan. Lalu apa yang harus dilakukan ketika dorongan untuk mengatakan perasaan semkain besar, teramat besar? Hingga perjumpaan dengannya jadi begitu mengasyikkan; menerima sms-nya menjadi kebahagiaan; berbincang dengannya menjadi kenikmatan; berpisah dengannya menjadi sebuah keberatan; ketidakhadirannya adalah rasa kehilangan.
Indah. Tapi ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yang semakin longgar telah menggiring mereka kepada dua dinding dilema yang semakin menyempit dan begitu menekan. Cinta terlanjur hadir. Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah, persiapan belum cukup atau kondisi belum mendukung. Menunggu pernikahan, seminggu saja serasa setahun. Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta terlanjur bersemi. Menjalani interaksi seperti biasa, semuanya membuat hati semakin merasa bersalah.
Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan sangat panjang lebar jika yang dijadikan landasan adalah realita dan logika. Tetapi, marilah kita bicara dengan nurani dan keimanan, agar semua bisa terselesaikan dengan cepat dan tuntas.
Tanyakan kepada nurani tentang keimanan yang bersemayam di dalamnya? Masihkah memiliki kekuatan untuk mempertahankan Allah sebagai nomor satu dan satu-satunya?
Dengan kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa mengeliminir cinta kepada seseorang yang telah menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari keridhaan Allah? Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci Dzat yang sangat kita harapkan cinta-Nya?
Tanyakan pada keimanan dan nurani, siapa yang lebih dicintai, Allah ataukah "dia"?
"Qul Aamantu Billahi tsummastaqim!" (al-Hadits)
Wallahu a'lam.
***
Special untuk mereka yang sedang terjebak dalam lorong-lorong dilema bernama "cinta". Buat kawan-kawan seperjuangan di Kairo, Tafahna al-Asyraf, dan Zaqaziq, Mesir, kuatkan hatimu! Jadilah pemenang melawan sisi lain hatimu! Bersama doa dan cintaku.
Zamzam muharamsyah
zetth_two@yahoo.com
Untukmu Yang Selalu Setia
Publikasi: 22/10/2004 07:25 WIB
eramuslim - Hari itu di pemakaman, siang begitu terik dan menyengat. Para pelayat yang kebanyakan berbaju hitam memadati lokasi pemakaman. Di antara begitu banyak orang, wanita cantik itu berdiri mengenakan pakaian dan kerudung berwarna putih, ekspresi tenang terlihat di raut wajah yang tersaput kesedihan.
Pada saat penguburan berlangsung, sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, wanita itu mendekati jenazah yang terbungkus kain kafan kemudian mencium bagian kening jenazah dan membisikkan kata-kata tak terdengar dengan perasaan dan suasana yang sulit kulukiskan. Aku melihat keharuan di antara para pelayat menyaksikan adegan itu.
Wanita itu adalah istri dari laki-laki yang pada hari itu dikubur. Setelah acara penguburan selesai satu persatu pelayat mengucapkan kalimat duka cita kepada wanita tersebut yang menyambut ucapan itu dengan senyuman manis dan kesedihan yang telah hilang dari wajahnya, seolah-olah pada saat yang seharusnya menyedihkan itu dia merasa bahagia.
Kudekati wanita itu.
"Kak, yang sabar ya, insya Allah abang diterima dengan baik di sisi-Nya," ujarku perlahan. Dia menatapku dengan senyuman tanpa kata-kata. Rasa penasaran menyeruak dalam hatiku melihat ekspresinya. Tapi perasaan itu tidak kuungkapkan.
Beberapa hari setelah pemakaman itu, aku datang ke rumah wanita itu. Kudapati ia sedang mengurus kembang mawar putih seperti apa yang sering dilakukannya. Kusapa dia dengan wajar, "Assalaamu'alaikum, sedang sibuk kak?" tanyaku
"Wa'alaikusallam... Oh adik, ayo duduk dulu," jawabnya seraya membereskan perlengkapan tanaman.
"Saya mengganggu kak?" tanyaku lagi,
"Kenapa harus mengganggu dik, ini kakak sedang menyiapkan bunga untuk dzikir nanti malam," jawabnya.
Sesaat setelah jawaban terakhir suasana hening terjadi di antara kami. Dengan hati-hati kuajukan perasaan yang selama beberapa hari mengganjal di hatiku. "Kak, apakah kakak tidak merasa sedih dengan kepergian abang?" tanyaku.
Dia menatapku dan berkata, "Kenapa adik bertanya seperti itu?"
Aku tidak segera menjawab karena takut dia tersinggung, dan, "Karena kakak justru terlihat bahagia menurut adik, kakak tersenyum pada saat pemakaman dan bahkan tidak mencucurkan airmata pada saat kepergian abang," ujarku.
Dia menatapku lagi dan menghela nafas panjang. "Apakah kesedihan selalu berwujud air mata?" Sebuah pertanyaan yang tidak sanggup kujawab. Kemudian dia meneruskan kembali perkataanya. "Kami telah bersama sekian lama, sebagai seorang wanita aku sangat kehilangan laki-laki yang kucintai, tapi aku juga seorang istri yang memiliki kewajiban terhadap seorang suami. Dan kegoisanku sebagai seorang wanita harus hilang ketika berhadapan dengan tugasku sebagai seorang istri," katanya tenang.
"Maksud kakak?" aku tambah penasaran.
"Sebuah kesedihan tidak harus berwujud air mata, kadang kesedihan juga berwujud senyum dan tawa. Kakak sedih sebagai seorang wanita tapi bahagia sebagai seorang istri. Abang adalah seorang laki-laki yang baik, yang tidak hanya selalu memberikan pujian dan rayuan tapi juga teguran. Dia selalu mendidik kakak sepanjang hidupnya. Abang mengajarkan kakak banyak hal. Dulu abang selalu mengatakan sayang pada kakak setiap hari bahkan dalam keadaan kami tengah bertengkar. Kadang ketika kami tidak saling menyapa karena marah, abang menyelipkan kata sayang pada kakak di pakaian yang kakak gunakan. Ketika kakak bertanya kenapa? abang menjawab, karena abang tidak ingin kakak tidak mengetahui bahwa abang menyayangi kakak dalam kondisi apapun, abang ingin kakak tau bahwa ia menyayangi kakak. Jawaban itu masih kakak ingat sampai sekarang. Wanita mana yang tidak sedih kehilangan laki-laki yang begitu menyayanginya? Tapi ..."
Dia menghentikan kata-katanya.
"Tapi apa kak?" kejarku.
" Tapi sebagai seorang istri, kakak tidak boleh menangis," katanya tersenyum.
"Kenapa?" tanyaku tidak sabar. Perlahan kulihat matanya menerawang.
"Sebagai seorang istri, kakak tidak ingin abang pergi dengan melihat kakak sedih, sepanjang hidupnya dia bukan hanya laki-laki tapi juga seorang suami dan guru bagi kakak. Dia tidak melarang kakak bersedih, tapi dia selalu melarang kakak meratap, kata abang, Allah tidak suka melihat hamba yang cengeng, dunia ini hanya sementara dan untuk apa ditangisi."
Wanita itu melanjutkan, "pada satu malam setelah kami sholat malam berjamaah, abang menangis, tangis yang tidak pernah kakak lupakan, abang berkata pada kakak bahwa jika suatu saat di antara kami meninggal lebih dahulu, masing-masing tidak boleh menangis, karena siapa pun yang pergi akan merasa tidak tenang dan sedih, sebagai seorang istri, kakak wajib menuruti kata-kata abang."
"Pemakaman bukanlah akhir dari kehidupan tapi adalah awal dari perjalanan, kematian adalah pintu gerbang dari keabadian. Saat di dunia ini kakak mencintai abang dan kita selalu ingin berada bersama dengan orang yang kita cintai, abang adalah orang baik. Dalam perjalanan waktu abang lah yang pertama kali dicintai Allah dan diminta untuk menemui-Nya, abang selalu mengatakan bahwa baginya Allah SWT adalah sang Kekasih dan abang selalu mengajarkan kakak untuk mencintai-Nya. Saat seorang Kekasih memanggil apakah kita harus bersedih? Abang bahagia dengan kepergiannya. Dalam syahadatnya abang tersenyum dan sungguh egois jika kakak sedih melihat abang bahagia," sambungnya.
Tanpa memberikan kesempatan untuk aku berkata, serangkaian kata terus mengalir dari wanita itu,
"Kakak bahagia melihat abang bahagia dan kakak ingin pada saat terakhir kakak melihat abang, kakak ingin abang tau bahwa baik abang di dunia maupun di akhirat kakak mencintainya dan berterima kasih pada abang karena abang telah meninggalkan sebuah harta yang sangat berharga untuk kakak yaitu cinta pada Allah SWT. Dulu abang pernah mengatakan pada kakak jika kita tidak bisa bersama di dunia ini kakak tidak perlu bersedih karena sebagai suami istri, kakak dan abang akan bertemu dan bersama di akhirat nanti bahkan di surga selama kami masih berada dalam jalan Allah. Dan abang telah memulai perjalanannya dengan baik, doakanlah kakak ya dik semoga kakak bisa memulai perjalanan itu dengan baik pula. Kakak sayang abang dan kakak ingin bertemu abang lagi."
Kali ini kulihat kakak tersenyum dan dalam keheningan taman aku tak mampu berkata-kata lagi.
eramuslim - Hari itu di pemakaman, siang begitu terik dan menyengat. Para pelayat yang kebanyakan berbaju hitam memadati lokasi pemakaman. Di antara begitu banyak orang, wanita cantik itu berdiri mengenakan pakaian dan kerudung berwarna putih, ekspresi tenang terlihat di raut wajah yang tersaput kesedihan.
Pada saat penguburan berlangsung, sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, wanita itu mendekati jenazah yang terbungkus kain kafan kemudian mencium bagian kening jenazah dan membisikkan kata-kata tak terdengar dengan perasaan dan suasana yang sulit kulukiskan. Aku melihat keharuan di antara para pelayat menyaksikan adegan itu.
Wanita itu adalah istri dari laki-laki yang pada hari itu dikubur. Setelah acara penguburan selesai satu persatu pelayat mengucapkan kalimat duka cita kepada wanita tersebut yang menyambut ucapan itu dengan senyuman manis dan kesedihan yang telah hilang dari wajahnya, seolah-olah pada saat yang seharusnya menyedihkan itu dia merasa bahagia.
Kudekati wanita itu.
"Kak, yang sabar ya, insya Allah abang diterima dengan baik di sisi-Nya," ujarku perlahan. Dia menatapku dengan senyuman tanpa kata-kata. Rasa penasaran menyeruak dalam hatiku melihat ekspresinya. Tapi perasaan itu tidak kuungkapkan.
Beberapa hari setelah pemakaman itu, aku datang ke rumah wanita itu. Kudapati ia sedang mengurus kembang mawar putih seperti apa yang sering dilakukannya. Kusapa dia dengan wajar, "Assalaamu'alaikum, sedang sibuk kak?" tanyaku
"Wa'alaikusallam... Oh adik, ayo duduk dulu," jawabnya seraya membereskan perlengkapan tanaman.
"Saya mengganggu kak?" tanyaku lagi,
"Kenapa harus mengganggu dik, ini kakak sedang menyiapkan bunga untuk dzikir nanti malam," jawabnya.
Sesaat setelah jawaban terakhir suasana hening terjadi di antara kami. Dengan hati-hati kuajukan perasaan yang selama beberapa hari mengganjal di hatiku. "Kak, apakah kakak tidak merasa sedih dengan kepergian abang?" tanyaku.
Dia menatapku dan berkata, "Kenapa adik bertanya seperti itu?"
Aku tidak segera menjawab karena takut dia tersinggung, dan, "Karena kakak justru terlihat bahagia menurut adik, kakak tersenyum pada saat pemakaman dan bahkan tidak mencucurkan airmata pada saat kepergian abang," ujarku.
Dia menatapku lagi dan menghela nafas panjang. "Apakah kesedihan selalu berwujud air mata?" Sebuah pertanyaan yang tidak sanggup kujawab. Kemudian dia meneruskan kembali perkataanya. "Kami telah bersama sekian lama, sebagai seorang wanita aku sangat kehilangan laki-laki yang kucintai, tapi aku juga seorang istri yang memiliki kewajiban terhadap seorang suami. Dan kegoisanku sebagai seorang wanita harus hilang ketika berhadapan dengan tugasku sebagai seorang istri," katanya tenang.
"Maksud kakak?" aku tambah penasaran.
"Sebuah kesedihan tidak harus berwujud air mata, kadang kesedihan juga berwujud senyum dan tawa. Kakak sedih sebagai seorang wanita tapi bahagia sebagai seorang istri. Abang adalah seorang laki-laki yang baik, yang tidak hanya selalu memberikan pujian dan rayuan tapi juga teguran. Dia selalu mendidik kakak sepanjang hidupnya. Abang mengajarkan kakak banyak hal. Dulu abang selalu mengatakan sayang pada kakak setiap hari bahkan dalam keadaan kami tengah bertengkar. Kadang ketika kami tidak saling menyapa karena marah, abang menyelipkan kata sayang pada kakak di pakaian yang kakak gunakan. Ketika kakak bertanya kenapa? abang menjawab, karena abang tidak ingin kakak tidak mengetahui bahwa abang menyayangi kakak dalam kondisi apapun, abang ingin kakak tau bahwa ia menyayangi kakak. Jawaban itu masih kakak ingat sampai sekarang. Wanita mana yang tidak sedih kehilangan laki-laki yang begitu menyayanginya? Tapi ..."
Dia menghentikan kata-katanya.
"Tapi apa kak?" kejarku.
" Tapi sebagai seorang istri, kakak tidak boleh menangis," katanya tersenyum.
"Kenapa?" tanyaku tidak sabar. Perlahan kulihat matanya menerawang.
"Sebagai seorang istri, kakak tidak ingin abang pergi dengan melihat kakak sedih, sepanjang hidupnya dia bukan hanya laki-laki tapi juga seorang suami dan guru bagi kakak. Dia tidak melarang kakak bersedih, tapi dia selalu melarang kakak meratap, kata abang, Allah tidak suka melihat hamba yang cengeng, dunia ini hanya sementara dan untuk apa ditangisi."
Wanita itu melanjutkan, "pada satu malam setelah kami sholat malam berjamaah, abang menangis, tangis yang tidak pernah kakak lupakan, abang berkata pada kakak bahwa jika suatu saat di antara kami meninggal lebih dahulu, masing-masing tidak boleh menangis, karena siapa pun yang pergi akan merasa tidak tenang dan sedih, sebagai seorang istri, kakak wajib menuruti kata-kata abang."
"Pemakaman bukanlah akhir dari kehidupan tapi adalah awal dari perjalanan, kematian adalah pintu gerbang dari keabadian. Saat di dunia ini kakak mencintai abang dan kita selalu ingin berada bersama dengan orang yang kita cintai, abang adalah orang baik. Dalam perjalanan waktu abang lah yang pertama kali dicintai Allah dan diminta untuk menemui-Nya, abang selalu mengatakan bahwa baginya Allah SWT adalah sang Kekasih dan abang selalu mengajarkan kakak untuk mencintai-Nya. Saat seorang Kekasih memanggil apakah kita harus bersedih? Abang bahagia dengan kepergiannya. Dalam syahadatnya abang tersenyum dan sungguh egois jika kakak sedih melihat abang bahagia," sambungnya.
Tanpa memberikan kesempatan untuk aku berkata, serangkaian kata terus mengalir dari wanita itu,
"Kakak bahagia melihat abang bahagia dan kakak ingin pada saat terakhir kakak melihat abang, kakak ingin abang tau bahwa baik abang di dunia maupun di akhirat kakak mencintainya dan berterima kasih pada abang karena abang telah meninggalkan sebuah harta yang sangat berharga untuk kakak yaitu cinta pada Allah SWT. Dulu abang pernah mengatakan pada kakak jika kita tidak bisa bersama di dunia ini kakak tidak perlu bersedih karena sebagai suami istri, kakak dan abang akan bertemu dan bersama di akhirat nanti bahkan di surga selama kami masih berada dalam jalan Allah. Dan abang telah memulai perjalanannya dengan baik, doakanlah kakak ya dik semoga kakak bisa memulai perjalanan itu dengan baik pula. Kakak sayang abang dan kakak ingin bertemu abang lagi."
Kali ini kulihat kakak tersenyum dan dalam keheningan taman aku tak mampu berkata-kata lagi.
Doa Untuk Orang Tua
Ya Allah,
Rendahkanlah suaraku bagi mereka
Perindahlah suaraku di depan mereka
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan
Lembutkanlah hatiku untuk mereka.
Ya Allah,
Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya
Atas didikan mereka padaku dan
Pahala yang besar
Atas kasih sayang yang mereka limpahkan padaku
Peliharalah mereka
Sebagaimana mereka memeliharaku.
Ya Allah,
Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan,
atau kesusahan yang mereka derita karena aku,
atau hilangnya sesuatu hak mereka karena perbuatanku,
jadikanlah itu semua
Penyebab rontoknya dosa-dosa mereka,
Meningginya kedudukan mereka dan
Bertambahnya pahala kebaikan mereka dengan perkenan-Mu, ya Allah
sebab hanya Engkaulah
yang berhak membalas kejahatan dengan kebaikan berlipat ganda.
Ya Allah,
Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka sebelumku,
Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku.
Tetapi jika megfirah-Mu lebih dahulu mencapai diriku
Maka izinkanlah aku memberi syafa'at untuk mereka,
Sehingga kami semua berkumpul
Bersama dengan santunan-Mu
di tempat kediaman yang dunaungi kemuliaan-Mu, ampunan-Mu serta
rahmat-Mu.
Sesungguhnya Engkaulah
Yang memiliki Karunia Maha Agung,
Serta anugerah yang tak berakhir dan
Engkaulah yang Maha Pengasih Diantara semua Pengasih.
From : DT Milis
***
Subscribe to:
Posts (Atom)