Tuesday 4 July 2017

Mendidik Anak Sesuai dengan Fitrahnya

Oleh  : Euis Kurniawati

"Mumpung anak masih kecil, jangan sampai salah seperti saya ya.
Anak pertama usia 22 thn hafal 18 juz.
Anak kedua dan ketiga semua hafidz dan hafidzah.
Tuntas 30 juz.
Tapi ...
saya sedih karena untuk sholat saja mereka masih diingatkan dan disuruh. Saya menangis saat saya baru sadar bahwa ada yg terlewat kala itu.


***
Fitrah keimanan (dibahas saat workshop) yg harusnya ditanam di 7 tahun pertama hidupnya ternyata lupa saya kawal lebih ketat dan belum tuntas. Dan sekarang kami harus "restart" dari awal untuk mengulang proses yg terlewat".
Hmm,,, Jazakumullah khairan katsira nasehat berharganya pak,
Satu hal lagi yg saya dapat saat mengikuti worshop home education based fitrah and tallent di semarang bbrp waktu lalu bersama ust harry.
Didiklah anak sesuai fitrah.
Fitrah apa?
Ada bbrp fitrah.
Diantaranya fitrah iman, fitrah belajar, fitrah bakat dan fitrah seksualitas.
Fitrah seksualitas?
Wow, , ,
gimana itu?

***
Mendidik anak sesuai fitrah seksualitas artinya mengenalkan anak bagaimana bersikap, berpikir, dan merasa seperti gendernya.
Jika ia anak perempuan, maka kita bangkitkan fitrah seksulitasnya sbg perempuan.
Jika ia laki2, maka kita bangunkan fitrah seksualitasnya sebagai laki2.
Pertanyaan berikutnya yg muncul, bagaimana tekhnis membangkitkan fitrah seksualitas ini ?
Ada beberapa tahap yg perlu kita kawal di tiap fasenya.

***
Usia 0 - 2 tahun
Pada usia ini anak harus dekat dengan bundanya.
Pendidikan tauhid pertama adalah menyusui anak sampai 2 tahun.
Menyusui, bukan memberi asi.
Langsung disusui tanpa pumping dan tanpa disambi pegang hp.

***
Usia 3 - 6 tahun
Pada usia ini anak harus dekat dengan kedua orang tuanya.
Dekat dengan bundanya, juga dekat dengan ayahnya.
Perbanyak aktivitas bersama.

***
Usia 7 - 10 tahun
Pada usia ini dekatkan anak sesuai gendernya.
Jika anak laki2, maka dekatkan dengan ayahnya.
Ajak anak beraktifitas yg menonjolkan sisi ke-maskulin-annya.
Nyuci motor, akrab dg alat2 pertukangan, dsb.
Jika anak perempuan, maka dekatkan dengan bundanya.
Libatkan anak dalam aktifitas yg menonjolkan ke-feminin-annya.
Stop katering dan banyak utak atik di dapur bersama anak, melibatkan saat bersih2 rumah, menjahit dsb.

***
Usia 11 - 14 tahun
Usia ini sudah masuk tahap pre aqil baligh akhir dan pada usia ini mulailah switch/menukar kedekatan.
Lintas gender.
Jika anak laki2, maka dekatkan pada bundanya.
Jika anak perempuan, maka dekatkan pada ayahnya.

*
Ada sebuah riset yg menunjukkan jika seorang anak perempuan tidak dekat dengan ayahnya pada fase ini maka data menunjukkan anak tsb 6x lebih rentan akan ditiduri oleh laki2 lain.
Di sebuah artikel parenting, dulu saya juga menemukan hal senada.

Jika tdk dekat dg ayahnya, maka anak perempuan akan mudah terpikat dengan laki2 yg menawarkan perhatian dan cinta meski hanya untuk kepuasan dan mengambil keuntungan semata.
Logis juga sih.

Saat ada laki2 yg memuji kecantikannya, mungkin ananda gak gampang silau krn ada ayahnya yg lebih sering memujinya.
Kalau ada laki2 yg memberikan hadiah, ananda tak akan gampang klepek2 krn ada ayahnya yg lbh dulu mencurahkan perhatian dan memberi hadiah.
Pada fase ini jika anak perempuan harus dekat dg ayahnya, maka sebaliknya, anak laki2 harus dekat dengan bundanya.

Efek yg sangat mungkin muncul jika tahap ini terlewat, maka anak laki2 punya potensi lebih besar untuk jadi suami yg kasar, playboy, dan tidak memahami perempuan.
Ada yang tanya, lho kalau ortunya bercerai atau LDR bagaimana?

Hadirkan sosok lain sesuai gender yg dibutuhkan.
Misal saat ia tak punya ayah, maka cari laki2 lain yg bs menjadi sosok ayah pengganti.
Bisa kakek, atau paman.
Sama dengan rasulullah.
Meskipun tak punya ayah dan ibu, tapi rasulullah tak pernah kehilangan sosok ayah dan ibu.
Ada kakek dan pamannya.
Ada nenek, bibi dan ibu susunya.

***
Fase berikutnya setelah 14 thn bagaimana? Sudah tuntas. Krn jumhur ulama sepakat usia 15 thn adalah usia aqil baligh
Artinya anak kita sudah "bukan" anak kita lagi.
Ia telah menjelma menjadi orang lain yg sepadan dengan kita.

Maka fokus dan bersabarlah mendampingi anak2, karna kita hanya punya waktu 14thn saja.
Saling mengingatkan, saling menguatkan, saling mendoakan ya teman2.

Moga allah mampukan dan bisa mempertanggungjawabkan amanah ini kelak di hari penghitungan..
Selamat berkumpul dan merajut cinta bersama keluarga.
Apapun keadaannya, jangan lupa bersyukur dan bahagia.

Semoga bermanfaat
Dapat copas dr teman

Silahkan kalau mau dishare 😊

Saturday 11 March 2017

Bagaimana cara memutus siklus Anak Nakal?

 *Bagaimana cara memutus siklus Anak Nakal?* 
Saat ngopi bareng mas Dodik Mariyanto di teras belakang rumah, iseng2 saya buka obrolan dengan satu kalimat tanya :
_"Mengapa anak baik biasanya semakin baik, dan anak nakal biasanya semakin nakal ya mas?"_
Mas Dodik mengambil kertas & spidol, lalu membuat beberapa lingkaran.
_"Wah suka banget, bakalan jadi obrolan berbobot nih"_, pikir saya ketika melihat kertas dan spidol di tangan mas Dodik.
Mas Dodik mulai menuliskan satu hadist:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
_"Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua”_
Artinya, setiap anak yang baik, pasti membuat ridho orangtuanya, hal ini akan membuat Allah Ridho juga.
Tapi setiap anak nakal, pasti membuat orangtuanya murka, dan itu akan membuat Allah murka juga.
_"Kamu pikirkan implikasi berikutnya & cari literatur yang ada untuk membuat sebuah pola"_ , tantang mas Dodik.
Waaa pak Dosen mulai menantang anak baik ya, suka saya.
Setelah membolak balik berbagai literatur yang ada, akhirnya saya menemukan satu tulisan menarik yang ditulis oleh kakak kelas mas Dodik, yaitu mas Dr. Agus Purwanto DSc.
Di sana beliau menuliskan bahwa anak nakal dan anak baik itu bergantung pada ridho dan murka orangtuanya.
Akhirnya kami berdua mengolahnya kembali, menjadi siklus anak baik dan siklus anak nakal:
📝 Siklus Anak Baik
Anak Baik -> orangtua Ridho -> Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak makin baik
📝 Siklus Anak nakal
Anak Nakal -> orangtua murka -> Allah Murka -> keluarga tidak berkah -> tidak bahagia -> anak makin nakal
Kalau tidak ada yang memutus siklus tersebut, maka akan terjadi pola anak baik akan semakin baik, anak nakal akan semakin nakal.
*Bagaimana cara memutus siklus Anak Nakal?*
ternyata kuncinya bukan pada anak melainkan pada ORANGTUANYA.
Anak Nakal -> ORANGTUA RIDHO -> Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak jadi baik
Berat? iya, maka nilai kemuliaannya sangat tinggi. Bgm cara kita sbg ortu/guru bisa ridho ketika anak kita nakal?
*Ini kuncinya :*
........ َإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ“
.... _"Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."_
(QS 64:14)
🍃 *CARA ORANGTUA RIDHO adalah..*
Menerima anak tersebut, memaafkan dan mengajaknya dialog, rangkul dengan sepenuh hati, terakhir lupakan kesalahannya.
Lalu, sebagai pengingat selanjutnya, kami menguncinya dgn pesan dari Umar bin Khattab
_"Jika kalian melihat anakmu/anak didik mu berbuat baik, maka puji dan catatlah, apabila anakmu/anak didikmu berbuat buruk, tegur dan jangan pernah engkau mencatatnya."_
- Umar Bin Khattab
🌴 *Smg bermanfaat....*🌴

Saturday 4 March 2017

Arti sebuah Kerinduan

Sungguh sangat manusiawi,
Seseorang yang terbesit rasa rindu dihati,
Pada sesiapa yang terkasih.

Bukankah Allah menciptakan rasa itu tuk dijaga,
Bukan untuk dimatikan,
Ataupun dihilangkan,
Dan yang terpenting adalah keseimbangan.

Salah satu ciri seorang yang beriman adalah ketika
disebut nama Allah maka bergetarlah hatinya.
Bergetar karena takut akan azab-Nya,
Bergetar karena mengharap Ridho-Nya,
Dan bergetar karena rindu ingin berjumpa dengan-Nya.
Seseorang apabila nama yang dikasihi disebut
didepannya,
dan ia tak merasakan getaran maka dipertanyakan
kecintaan dan
kerinduannya, maka Allah menggambarkan dalam
firman-Nya tuk hamba-hamba-Nya yang merindui-Nya:
"..dan apabila disebut nama Allah maka bergetarlah
hatinya.."
( An Anfal:2)

Bayangkan...
hanya dengan disebut nama-Nya maka bergetar hatinya...
Bagaimana dengan hati ini?
Cintakah kita dengan-Nya?
Rindukah kita dengan-Nya?
Dalam Hadits Qudsi Allah berfirman :
" Sesungguhnya Aku sesuai dengan prasangka hambaKU.."
Bila hati ini rindu kepada-Nya,maka Ia kan rindu,
Bila hati ini ingin berjumpa dengan-Nya,maka Ia kan
mengharapkan berjumpa,
Subhanallah bahagia orang yang merasakan getaran
ketika nama Allah
Disebut.

Jangan katakan kita cinta Rasul, kalau hati tidak
bergetar
ketika mendengar nama Rasul.
Jangan katakan kita merindukan Rasul kalau hati tak
bergejolak
ketika nama Rasul disebut.

Begitu juga ketika seseorang merindui seseorang yang
dikasihi,
ingin hati berjumpa, mendengar dan bicara dengannya.
Walaupun satu kata yang terlontar dari orang yang
dirindui,
Itu kan mengobati rasa rindu
Subhanallah Maha Suci Allah yang menciptakan rasa
rindu,
Setiap orang mempunyai rasa rindu,
seorang lelaki rindu seorang istri sholehah,
seorang wanita rindu seorang suami sholeh,
seorang yang beriman rindu akan kebenaran,
seorang yang bertakwa rindu berjumpa dengan Allah.
Ya Rabb syukur aku telah kau anugerahkan dengan
rindu..
Ya Rabb jawablah rindu ini...
Ya Rabb kumpulkan aku bersama orang yang merindui
Mu...

From : DT milis

Ketika Cinta Berbuah Dilema

Untuk apa memertahanakan Cinta yang hanya membuat kita semakin jah dari-Nya ??

Artikel pndek ..,ini mnyimpan makna yang cukup ....(-:
sekaligus .., menegur kita ..., yang sedang terjebak dalam gelombang cinta yang
"terlarang"..

Semoga Allah selalu membimbing kita semua. Amin

***
eramuslim - Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Sayidina Ali, suaminya. "Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika aku masih gadis dulu."
"O ya," tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. "Siapakah lelaki terhormat itu, dinda?"
"Lelaki itu adalah engkau, sayangku," jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali tersenyum dan semakin mencintai isterinya.

Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali di atas mungkin sudah menjadi hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak bagi mereka yang belum menikah. Percakapan-percakapan romantis yang sering ditemukan dalam buku-buku pernikahan itu sungguh sangat imajinatif bagi para lajang yang sudah merindukan pernikahan, sekaligus juga misteri, apakah ia bisa seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?

Alangkah bahagianya, seorang pemuda yang sejak lama memimpikan obrolan-obrolan romantis akhirnya sampai di terminal harapan, sebuah pernikahan suci. Apa yang selama ini menjadi imajinasinya saat itu akan ia ungkapkan kepada isterinya. "Wahai kekasihku, ada satu kata yang dari dulu terpenjara di hatiku dan ingin sekali kukatakan kepadamu, aku mencintaimu."

Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka yang telah dikaruniai kemampuan untuk mengikat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidha), pernikahan itu. Bagi mereka yang masih harus melajang, semuanya masih hanya mimpi yang terus menggoda.

Terkadang, ada pemuda yang tidak kuat melawan godaan imajinasinya. Keinginan untuk mengungkapkan cinta itu tiba-tiba sangat besar sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu harus diungkapkan? Sementara isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata pacaran sudah lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar, begitu dahsyat.

Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat koordinasi di organisasi kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari sekolah telah mempertemukan dua pesona. Imajinasi itu kembali menari-nari.
"Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang kuimpikan selama ini."
"Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya yang kalem, dia mungkin yang kuharapkan."
Dan cinta itu hadir.

Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat perjanjian yang berat belum sanggup dilakukan. Lalu apa yang harus dilakukan ketika dorongan untuk mengatakan perasaan semkain besar, teramat besar? Hingga perjumpaan dengannya jadi begitu mengasyikkan; menerima sms-nya menjadi kebahagiaan; berbincang dengannya menjadi kenikmatan; berpisah dengannya menjadi sebuah keberatan; ketidakhadirannya adalah rasa kehilangan.

Indah. Tapi ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yang semakin longgar telah menggiring mereka kepada dua dinding dilema yang semakin menyempit dan begitu menekan. Cinta terlanjur hadir. Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah, persiapan belum cukup atau kondisi belum mendukung. Menunggu pernikahan, seminggu saja serasa setahun. Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta terlanjur bersemi. Menjalani interaksi seperti biasa, semuanya membuat hati semakin merasa bersalah.

Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan sangat panjang lebar jika yang dijadikan landasan adalah realita dan logika. Tetapi, marilah kita bicara dengan nurani dan keimanan, agar semua bisa terselesaikan dengan cepat dan tuntas.

Tanyakan kepada nurani tentang keimanan yang bersemayam di dalamnya? Masihkah memiliki kekuatan untuk mempertahankan Allah sebagai nomor satu dan satu-satunya?
Dengan kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa mengeliminir cinta kepada seseorang yang telah menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari keridhaan Allah? Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci Dzat yang sangat kita harapkan cinta-Nya?

Tanyakan pada keimanan dan nurani, siapa yang lebih dicintai, Allah ataukah "dia"?

"Qul Aamantu Billahi tsummastaqim!" (al-Hadits)

Wallahu a'lam.

***
Special untuk mereka yang sedang terjebak dalam lorong-lorong dilema bernama "cinta". Buat kawan-kawan seperjuangan di Kairo, Tafahna al-Asyraf, dan Zaqaziq, Mesir, kuatkan hatimu! Jadilah pemenang melawan sisi lain hatimu! Bersama doa dan cintaku.

Zamzam muharamsyah
zetth_two@yahoo.com

Untukmu Yang Selalu Setia

Publikasi: 22/10/2004 07:25 WIB

eramuslim - Hari itu di pemakaman, siang begitu terik dan menyengat. Para pelayat yang kebanyakan berbaju hitam memadati lokasi pemakaman. Di antara begitu banyak orang, wanita cantik itu berdiri mengenakan pakaian dan kerudung berwarna putih, ekspresi tenang terlihat di raut wajah yang tersaput kesedihan.

Pada saat penguburan berlangsung, sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, wanita itu mendekati jenazah yang terbungkus kain kafan kemudian mencium bagian kening jenazah dan membisikkan kata-kata tak terdengar dengan perasaan dan suasana yang sulit kulukiskan. Aku melihat keharuan di antara para pelayat menyaksikan adegan itu.

Wanita itu adalah istri dari laki-laki yang pada hari itu dikubur. Setelah acara penguburan selesai satu persatu pelayat mengucapkan kalimat duka cita kepada wanita tersebut yang menyambut ucapan itu dengan senyuman manis dan kesedihan yang telah hilang dari wajahnya, seolah-olah pada saat yang seharusnya menyedihkan itu dia merasa bahagia.

Kudekati wanita itu.

"Kak, yang sabar ya, insya Allah abang diterima dengan baik di sisi-Nya," ujarku perlahan. Dia menatapku dengan senyuman tanpa kata-kata. Rasa penasaran menyeruak dalam hatiku melihat ekspresinya. Tapi perasaan itu tidak kuungkapkan.

Beberapa hari setelah pemakaman itu, aku datang ke rumah wanita itu. Kudapati ia sedang mengurus kembang mawar putih seperti apa yang sering dilakukannya. Kusapa dia dengan wajar, "Assalaamu'alaikum, sedang sibuk kak?" tanyaku

"Wa'alaikusallam... Oh adik, ayo duduk dulu," jawabnya seraya membereskan perlengkapan tanaman.

"Saya mengganggu kak?" tanyaku lagi,

"Kenapa harus mengganggu dik, ini kakak sedang menyiapkan bunga untuk dzikir nanti malam," jawabnya.

Sesaat setelah jawaban terakhir suasana hening terjadi di antara kami. Dengan hati-hati kuajukan perasaan yang selama beberapa hari mengganjal di hatiku. "Kak, apakah kakak tidak merasa sedih dengan kepergian abang?" tanyaku.
Dia menatapku dan berkata, "Kenapa adik bertanya seperti itu?"

Aku tidak segera menjawab karena takut dia tersinggung, dan, "Karena kakak justru terlihat bahagia menurut adik, kakak tersenyum pada saat pemakaman dan bahkan tidak mencucurkan airmata pada saat kepergian abang," ujarku.

Dia menatapku lagi dan menghela nafas panjang. "Apakah kesedihan selalu berwujud air mata?" Sebuah pertanyaan yang tidak sanggup kujawab. Kemudian dia meneruskan kembali perkataanya. "Kami telah bersama sekian lama, sebagai seorang wanita aku sangat kehilangan laki-laki yang kucintai, tapi aku juga seorang istri yang memiliki kewajiban terhadap seorang suami. Dan kegoisanku sebagai seorang wanita harus hilang ketika berhadapan dengan tugasku sebagai seorang istri," katanya tenang.

"Maksud kakak?" aku tambah penasaran.

"Sebuah kesedihan tidak harus berwujud air mata, kadang kesedihan juga berwujud senyum dan tawa. Kakak sedih sebagai seorang wanita tapi bahagia sebagai seorang istri. Abang adalah seorang laki-laki yang baik, yang tidak hanya selalu memberikan pujian dan rayuan tapi juga teguran. Dia selalu mendidik kakak sepanjang hidupnya. Abang mengajarkan kakak banyak hal. Dulu abang selalu mengatakan sayang pada kakak setiap hari bahkan dalam keadaan kami tengah bertengkar. Kadang ketika kami tidak saling menyapa karena marah, abang menyelipkan kata sayang pada kakak di pakaian yang kakak gunakan. Ketika kakak bertanya kenapa? abang menjawab, karena abang tidak ingin kakak tidak mengetahui bahwa abang menyayangi kakak dalam kondisi apapun, abang ingin kakak tau bahwa ia menyayangi kakak. Jawaban itu masih kakak ingat sampai sekarang. Wanita mana yang tidak sedih kehilangan laki-laki yang begitu menyayanginya? Tapi ..."

Dia menghentikan kata-katanya.

"Tapi apa kak?" kejarku.

" Tapi sebagai seorang istri, kakak tidak boleh menangis," katanya tersenyum.

"Kenapa?" tanyaku tidak sabar. Perlahan kulihat matanya menerawang.
"Sebagai seorang istri, kakak tidak ingin abang pergi dengan melihat kakak sedih, sepanjang hidupnya dia bukan hanya laki-laki tapi juga seorang suami dan guru bagi kakak. Dia tidak melarang kakak bersedih, tapi dia selalu melarang kakak meratap, kata abang, Allah tidak suka melihat hamba yang cengeng, dunia ini hanya sementara dan untuk apa ditangisi."

Wanita itu melanjutkan, "pada satu malam setelah kami sholat malam berjamaah, abang menangis, tangis yang tidak pernah kakak lupakan, abang berkata pada kakak bahwa jika suatu saat di antara kami meninggal lebih dahulu, masing-masing tidak boleh menangis, karena siapa pun yang pergi akan merasa tidak tenang dan sedih, sebagai seorang istri, kakak wajib menuruti kata-kata abang."

"Pemakaman bukanlah akhir dari kehidupan tapi adalah awal dari perjalanan, kematian adalah pintu gerbang dari keabadian. Saat di dunia ini kakak mencintai abang dan kita selalu ingin berada bersama dengan orang yang kita cintai, abang adalah orang baik. Dalam perjalanan waktu abang lah yang pertama kali dicintai Allah dan diminta untuk menemui-Nya, abang selalu mengatakan bahwa baginya Allah SWT adalah sang Kekasih dan abang selalu mengajarkan kakak untuk mencintai-Nya. Saat seorang Kekasih memanggil apakah kita harus bersedih? Abang bahagia dengan kepergiannya. Dalam syahadatnya abang tersenyum dan sungguh egois jika kakak sedih melihat abang bahagia," sambungnya.

Tanpa memberikan kesempatan untuk aku berkata, serangkaian kata terus mengalir dari wanita itu,

"Kakak bahagia melihat abang bahagia dan kakak ingin pada saat terakhir kakak melihat abang, kakak ingin abang tau bahwa baik abang di dunia maupun di akhirat kakak mencintainya dan berterima kasih pada abang karena abang telah meninggalkan sebuah harta yang sangat berharga untuk kakak yaitu cinta pada Allah SWT. Dulu abang pernah mengatakan pada kakak jika kita tidak bisa bersama di dunia ini kakak tidak perlu bersedih karena sebagai suami istri, kakak dan abang akan bertemu dan bersama di akhirat nanti bahkan di surga selama kami masih berada dalam jalan Allah. Dan abang telah memulai perjalanannya dengan baik, doakanlah kakak ya dik semoga kakak bisa memulai perjalanan itu dengan baik pula. Kakak sayang abang dan kakak ingin bertemu abang lagi."
Kali ini kulihat kakak tersenyum dan dalam keheningan taman aku tak mampu berkata-kata lagi.

Doa Untuk Orang Tua

Ya Allah,

Rendahkanlah suaraku bagi mereka

Perindahlah suaraku di depan mereka

Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan

Lembutkanlah hatiku untuk mereka.



Ya Allah,

Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya

Atas didikan mereka padaku dan

Pahala yang besar

Atas kasih sayang yang mereka limpahkan padaku

Peliharalah mereka

Sebagaimana mereka memeliharaku.



Ya Allah,

Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan,

atau kesusahan yang mereka derita karena aku,

atau hilangnya sesuatu hak mereka karena perbuatanku,

jadikanlah itu semua

Penyebab rontoknya dosa-dosa mereka,

Meningginya kedudukan mereka dan

Bertambahnya pahala kebaikan mereka dengan perkenan-Mu, ya Allah

sebab hanya Engkaulah

yang berhak membalas kejahatan dengan kebaikan berlipat ganda.



Ya Allah,

Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka sebelumku,

Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku.

Tetapi jika megfirah-Mu lebih dahulu mencapai diriku

Maka izinkanlah aku memberi syafa'at untuk mereka,

Sehingga kami semua berkumpul

Bersama dengan santunan-Mu

di tempat kediaman yang dunaungi kemuliaan-Mu, ampunan-Mu serta

rahmat-Mu.



Sesungguhnya Engkaulah

Yang memiliki Karunia Maha Agung,

Serta anugerah yang tak berakhir dan

Engkaulah yang Maha Pengasih Diantara semua Pengasih.



From : DT Milis

***