Kita boleh berencana dan berharap tentang apa yang akan kita miliki, kita rasakan dan kita raih dalam hidup ini. Harapan dan rencana yang indah, menyenangkan bahkan muluk. Tak apa, itu memang hak kita.
Satu hal yang harus diingat dalam merenda harapan adalah bahwa harapan itu bisa saja terwujud dan adakalanya pula pupus tak berbekas. Ingat pula, bahwa sesungguhnya Dia lah Allah yang menentukan segalanya. Manusia berencana, berusaha dan berharap, Allah lah yang menjatuhkan takdir.
Perkara takdir memang hak mutlak Sang Pencipta. Tugas kita cuma bagaimana menyikapi takdir dengan sebenar-benar sikap, selurus-lurus perilaku. Apapun yang menimpa kita: baik atau buruk, sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan.
Benarkah ada takdir buruk dan takdir baik? Sebenarnya ini cuma sudut pandang. Apa yang di mata kita buruk, misalnya harapan yang tidak tercapai, sebenarnya adalah sesuatu yang baik jika disikapi dengan benar. Dan sebaliknya, sesuatu yang dalam pandangan kita baik, bisa jadi sebenarnya mengandung hal-hal yang membahayakan buat diri.
Ada kisah seorang ibu yang merasa kecewa saat anaknya yang selama ini bertabur prestasi, ternyata tidak lulus UMPTN. Kuliah swasta? ia bukan dari kalangan berduit. Harapan memiliki seorang anak bertitel dokter kandas sudah. Sang anak pun sebenarnya mengalami kekecewaan serupa, namun mencoba tetap bersabar.
Di tengah situasi sulit, ada tawaran menjadi pengajar Taman Kanak-Kanak (sesuatu yang sebelumnya tidak pernah diharapkan). Karier sebagai guru TK dijalaninya dengan ulet hingga ia benar-benar menjiwai perkerjaan tersebut. Di sela waktu mengajar, ia mengambil pendidikan keguruan. Dasar anaknya cerdas dan tekun, makin lama ia makin eksis di dunianya. Kini, ia menjadi salah satu pengajar favorit yang berpengalaman di sebuah TK ternama. Ia masih ingat dengan cita-cita dan harapan "menjadi dokter" tapi ia lebih berbahagia dengan keadaannya sekarang.
Mengapa ia bisa "nyeni" menyikapi takdir? Kuncinya terletak pada kemampuan menyikapi takdir. Pertama, dengan kesabaran yaitu keluasan hati untuk 'ridho' menerima realita takdir. Allah apa adanya, tanpa prasangka, tanpa keluh kesah (wong memang Ia yang punya kuasa, kok). Kedua, dengan kemampuan memetik hikmah di balik takdir. Inilah yang diatas disebut sebagai 'masalah sudut pandang'. Pandanglah takdir dengan meminjam kacamataNya, niscaya kita akan mendapati hikmah bertaburan di baliknya. Bukankah Allah tak pernah mendzalimi hambaNya, membebaninya dengan sesuatu yang tak sanggup dipikulnya?
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. ALLAH Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui," KAta Allah dalam Al Baqoroh ayat 216.
Sayangnya, banyak manusia yang tak memiliki kemampuan ini. Sedikit sekali manusia yang bisa bersabar, bisa ridho, dengan apapun takdir yang menimpanya, sedikit pula manusia yang mampu membaca takdir dengan kacamataNya. Maka kita pun sering mendengar cerita tentang orang-orang yang frustasi, depresi bahkan sakit jiwa manakala menghadapi takdir yang dianggapnya buruk, semisal harapan dan cita-cita yang kandas.
YA ALLAH, hanya kepadaMu kami menggantungkan harapan, berharap-harap agar harapan itu terkabulkan. NAmun YA ALLAH, berilah kami kekuatan jiwa manakala Engkau ingin menguji kami dengan harapan yang belum Kau kabulkan.... (Dwi Septiawati Djafar)
No comments:
Post a Comment