Friday, 21 January 2005

TuLus.

"Logika menjadi keunggulan manusia diantara makhluk lain. Tetapi justru

perbuatan terbesar manusia: ketulusan; tidak memerlukan logika sama sekali."



Harian Kompas, beberapa hari setelah gelombang Tsunami menghantam Asia,

memasang gambar yang menyentuh. Seorang anak usia sekolah datang ke

Sekretrariat Dana Kemanusiaan Kompas, menyerahkan dua kantung plastik uang

logam untuk disumbangkan bagi korban Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara.

Konon uang receh itu adalah uang hasil tabungan si gadis kecil yang ia

sisihkan sedikit demi sedikit selama ini. Begitu melihat tayangan televisi

mengenai para korban Tsunami yang sangat 'mengerikan' itu ia tergerak untuk

menyumbangkan seluruh tabungannya.



Dalam waktu yang berdekatan, sebuah stasiun radio di Jakarta, Female, juga

menuturkan cerita mengharukan: seorang guru Sekolah Dasar datang ke sebuah

toko kain di Pasar Tanah Abang. Ia bermaksud membeli kain kafan untuk para

korban Tsunami di Aceh. Ia dan murid-muridnya tidak tega melihat mayat

korban Tsunami bergelimpangan dan dikubur tanpa penanganan yang layak,

normalnya jasad seorang manusia. Uang 'saweran' yang terkumpul ia belikan

kain kafan, tetapi apa daya ternyata hanya mendapatkan beberapa puluh meter

saja. Wajah kecewa sang Guru mengundang pertanyaan si pedagang.

"Mau buat apa, Pak?"

"Ini ... murid-murid saya mengumpulkan uang, kepingin mengirimkan kain kafan

ke Aceh?" kata Guru itu lirih.

Sang pedagang terdiam sejenak. Ia memang sudah melihat di layar televisi

mengenai para korban yang meninggal di Aceh dan tidak dimakamkan secara

layak.

Sejenak kemudian ia mengangkat telepon dan berbicara dalam bahasa Mandarin.



Selama kain kafan disiapkan, sang Pedagang itu terlihat menelepon beberapa

kali

ke beberapa orang.



Beberapa saat kemudian, beberapa orang tiba-tiba datang membawa kain kafan

ke Kios itu. "Pak ini, teman-teman pedagang di sini titip bantuan kain kafan

juga

untuk disumbangkan ke Aceh ..." katanya kepada sang Guru yang kemudian

tampak terharu sekali menerima bantuan spontan yang melimpah itu. Alhasil,

pulang dari Pasar Tanah Abang, ia harus diantar dengan mobil bak terbuka

untuk membawa kain-kain kafan sumbangan itu.



Apa yang dilakukan gadis kecil di Kompas dan pedagang kain Tanah Abang itu,

benar-benar spontanitas yang tulus.

Alangkah indahnya apabila ketulusan seperti ini senantiasa ada dalam hidup

keseharian kita.

Tidak perlu menunggu datangnya bencana besar untuk berbuat kebaikan dan

sesuatu yang tulus.

Bukankah roh yang sudah ditiupkan ketika manusia diciptakan adalah merupakan

roh kemuliaan, yang membedakan manusia dengan makhluk mana pun di muka bumi?



Satu-satunya keunggulan manusia diantara makhluk ciptaan adalah manusia bisa

memilih untuk melakukan sesuatu yang baik atau sebaliknya.

Keluarga Semut

Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari cerita di bawah ini.





Pukul 22.30 WIB, huh ... lelahnya aku seharian menyelesaikan pekerjaan

kantor yang tak habis-habisnya. Kurebahkan tubuhku di lantai depan televisi,

sementara kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak terlelap.

Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku

bersentuhan dengan sejuknya lantai.



"aaauww ... brengsek!" gumamku Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku

hingga ia terjatuh di lantai, ternyata seekor semut hitam.



"Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini

seperti mau hancur? Apa ia juga tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?"

pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku.

Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "addduuhhh!"

Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya

dan

gigitannya pun lebih sakit. "heeeh, berani sekali makhluk kecil ini,"

gerutuku

kesal.



Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik

'mejret' di lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah

mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti menantangku bertinju. Kuturunkan

kembali tanganku yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut',

kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang komat-kamit

seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang

diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami apa yang diucapkannya.



"Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya

sedang membawa makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia

begitu marah karena aku menghambat perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku

menindihnya sehingga ia harus terpaksa menggigitku.



Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya aku

meminta maaf kepadanya. Susah payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku

pagi tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke

kanan

kadang ke kiri, sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar

mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang mulai membasahi tubuh

hitamnya.



Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok mana ia tinggal dari

bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan

makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti menolaknya. Berhentilah

ia di

sebuah sudut di samping lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil

yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang

memanggil-manggil semut-semut di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat

dan .... lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa

makanan itu berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang

dibawa

semut pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan

pembawa roti keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis ia mendekati si

pembawa roti, menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang sudah

membasahi

seluruh tubuh semut pembawa makanan itu.

Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari

semut-semut

yang berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil

adalah anak-anaknya sementara satu semut lagi adalah istri si pembawa

roti, itu

terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung

anak ke

enamnya" pikirku.



Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih

sayang. Semut istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh

senyum setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan

pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya.

Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima

kasih dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang

dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang

membuat

ayah ibunya bangga.



Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya dan

brukkk .... aku tersungkur. Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui

semut-semut itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku ribuan

wajah semut-semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai

ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa

makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki yang

aku terima.



Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi, semakin terbayang

tangisan-tangisan anak-anak dan istri semut-semut itu yang tengah menanti

ayah

dan suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan melainkan justru

seonggok jenazah.



Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang

perjuangan

hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika

terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka

ajari

aku caranya mensyukuri nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas,

sabar,

tawadhu' dan qonaah dalam hidup.



Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian

manapun rumahku aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan

menghalangi

langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki. Ingin rasanya aku

hantarkan sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat

tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau

bahkan mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri

rizki tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka.

Monday, 17 January 2005

** Memandang Takdir ***

Kita boleh berencana dan berharap tentang apa yang akan kita miliki, kita rasakan dan kita raih dalam hidup ini. Harapan dan rencana yang indah, menyenangkan bahkan muluk. Tak apa, itu memang hak kita.



Satu hal yang harus diingat dalam merenda harapan adalah bahwa harapan itu bisa saja terwujud dan adakalanya pula pupus tak berbekas. Ingat pula, bahwa sesungguhnya Dia lah Allah yang menentukan segalanya. Manusia berencana, berusaha dan berharap, Allah lah yang menjatuhkan takdir.



Perkara takdir memang hak mutlak Sang Pencipta. Tugas kita cuma bagaimana menyikapi takdir dengan sebenar-benar sikap, selurus-lurus perilaku. Apapun yang menimpa kita: baik atau buruk, sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan.



Benarkah ada takdir buruk dan takdir baik? Sebenarnya ini cuma sudut pandang. Apa yang di mata kita buruk, misalnya harapan yang tidak tercapai, sebenarnya adalah sesuatu yang baik jika disikapi dengan benar. Dan sebaliknya, sesuatu yang dalam pandangan kita baik, bisa jadi sebenarnya mengandung hal-hal yang membahayakan buat diri.



Ada kisah seorang ibu yang merasa kecewa saat anaknya yang selama ini bertabur prestasi, ternyata tidak lulus UMPTN. Kuliah swasta? ia bukan dari kalangan berduit. Harapan memiliki seorang anak bertitel dokter kandas sudah. Sang anak pun sebenarnya mengalami kekecewaan serupa, namun mencoba tetap bersabar.



Di tengah situasi sulit, ada tawaran menjadi pengajar Taman Kanak-Kanak (sesuatu yang sebelumnya tidak pernah diharapkan). Karier sebagai guru TK dijalaninya dengan ulet hingga ia benar-benar menjiwai perkerjaan tersebut. Di sela waktu mengajar, ia mengambil pendidikan keguruan. Dasar anaknya cerdas dan tekun, makin lama ia makin eksis di dunianya. Kini, ia menjadi salah satu pengajar favorit yang berpengalaman di sebuah TK ternama. Ia masih ingat dengan cita-cita dan harapan "menjadi dokter" tapi ia lebih berbahagia dengan keadaannya sekarang.



Mengapa ia bisa "nyeni" menyikapi takdir? Kuncinya terletak pada kemampuan menyikapi takdir. Pertama, dengan kesabaran yaitu keluasan hati untuk 'ridho' menerima realita takdir. Allah apa adanya, tanpa prasangka, tanpa keluh kesah (wong memang Ia yang punya kuasa, kok). Kedua, dengan kemampuan memetik hikmah di balik takdir. Inilah yang diatas disebut sebagai 'masalah sudut pandang'. Pandanglah takdir dengan meminjam kacamataNya, niscaya kita akan mendapati hikmah bertaburan di baliknya. Bukankah Allah tak pernah mendzalimi hambaNya, membebaninya dengan sesuatu yang tak sanggup dipikulnya?



"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. ALLAH Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui," KAta Allah dalam Al Baqoroh ayat 216.



Sayangnya, banyak manusia yang tak memiliki kemampuan ini. Sedikit sekali manusia yang bisa bersabar, bisa ridho, dengan apapun takdir yang menimpanya, sedikit pula manusia yang mampu membaca takdir dengan kacamataNya. Maka kita pun sering mendengar cerita tentang orang-orang yang frustasi, depresi bahkan sakit jiwa manakala menghadapi takdir yang dianggapnya buruk, semisal harapan dan cita-cita yang kandas.



YA ALLAH, hanya kepadaMu kami menggantungkan harapan, berharap-harap agar harapan itu terkabulkan. NAmun YA ALLAH, berilah kami kekuatan jiwa manakala Engkau ingin menguji kami dengan harapan yang belum Kau kabulkan.... (Dwi Septiawati Djafar)

Ketika Cinta Berbuah Dilema

Untuk apa memertahanakan Cinta yang hanya membuat kita semakin jah dari-Nya ??



Artikel pndek ..,ini mnyimpan makna yang cukup ....(-:

sekaligus .., menegur kita ..., yang sedang terjebak dalam gelombang cinta yang

"terlarang"..



Semoga Allah selalu membimbing kita semua. Amin



***

eramuslim - Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Sayidina Ali, suaminya. "Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika aku masih gadis dulu."

"O ya," tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. "Siapakah lelaki terhormat itu, dinda?"

"Lelaki itu adalah engkau, sayangku," jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali tersenyum dan semakin mencintai isterinya.



Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali di atas mungkin sudah menjadi hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak bagi mereka yang belum menikah. Percakapan-percakapan romantis yang sering ditemukan dalam buku-buku pernikahan itu sungguh sangat imajinatif bagi para lajang yang sudah merindukan pernikahan, sekaligus juga misteri, apakah ia bisa seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?



Alangkah bahagianya, seorang pemuda yang sejak lama memimpikan obrolan-obrolan romantis akhirnya sampai di terminal harapan, sebuah pernikahan suci. Apa yang selama ini menjadi imajinasinya saat itu akan ia ungkapkan kepada isterinya. "Wahai kekasihku, ada satu kata yang dari dulu terpenjara di hatiku dan ingin sekali kukatakan kepadamu, aku mencintaimu."



Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka yang telah dikaruniai kemampuan untuk mengikat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidha), pernikahan itu. Bagi mereka yang masih harus melajang, semuanya masih hanya mimpi yang terus menggoda.



Terkadang, ada pemuda yang tidak kuat melawan godaan imajinasinya. Keinginan untuk mengungkapkan cinta itu tiba-tiba sangat besar sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu harus diungkapkan? Sementara isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata pacaran sudah lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar, begitu dahsyat.



Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat koordinasi di organisasi kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari sekolah telah mempertemukan dua pesona. Imajinasi itu kembali menari-nari.

"Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang kuimpikan selama ini."

"Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya yang kalem, dia mungkin yang kuharapkan."

Dan cinta itu hadir.



Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat perjanjian yang berat belum sanggup dilakukan. Lalu apa yang harus dilakukan ketika dorongan untuk mengatakan perasaan semkain besar, teramat besar? Hingga perjumpaan dengannya jadi begitu mengasyikkan; menerima sms-nya menjadi kebahagiaan; berbincang dengannya menjadi kenikmatan; berpisah dengannya menjadi sebuah keberatan; ketidakhadirannya adalah rasa kehilangan.



Indah. Tapi ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yang semakin longgar telah menggiring mereka kepada dua dinding dilema yang semakin menyempit dan begitu menekan. Cinta terlanjur hadir. Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah, persiapan belum cukup atau kondisi belum mendukung. Menunggu pernikahan, seminggu saja serasa setahun. Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta terlanjur bersemi. Menjalani interaksi seperti biasa, semuanya membuat hati semakin merasa bersalah.



Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan sangat panjang lebar jika yang dijadikan landasan adalah realita dan logika. Tetapi, marilah kita bicara dengan nurani dan keimanan, agar semua bisa terselesaikan dengan cepat dan tuntas.



Tanyakan kepada nurani tentang keimanan yang bersemayam di dalamnya? Masihkah memiliki kekuatan untuk mempertahankan Allah sebagai nomor satu dan satu-satunya?

Dengan kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa mengeliminir cinta kepada seseorang yang telah menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari keridhaan Allah? Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci Dzat yang sangat kita harapkan cinta-Nya?



Tanyakan pada keimanan dan nurani, siapa yang lebih dicintai, Allah ataukah "dia"?



"Qul Aamantu Billahi tsummastaqim!" (al-Hadits)



Wallahu a'lam.



***

Special untuk mereka yang sedang terjebak dalam lorong-lorong dilema bernama "cinta". Buat kawan-kawan seperjuangan di Kairo, Tafahna al-Asyraf, dan Zaqaziq, Mesir, kuatkan hatimu! Jadilah pemenang melawan sisi lain hatimu! Bersama doa dan cintaku.



Zamzam muharamsyah

zetth_two@yahoo.com

Friday, 7 January 2005

Selamat di Tengah Samudra, Tak Pernah Tinggalkan Shalat

Selamat di tengah laut Rizal ditemukan selamat oleh kapal MV Durban Bridge

yang berlayar dari Afrika, menuju Malaysia, Senin (3/1). Korban berada di

atas ranting tengah laut selama 8 hari (afp).



(Embedded image moved to file: pic23976.jpg)



Selamat di Tengah Samudra, Tak Pernah Tinggalkan Shalat



Rizal Sahputra, terapung di atas ranting di lautan Hindia selama delapan

hari diselamatkan kapal kontainer Senin lalu. Selama di laut, dia hanya

membaca doa dan tidak pernah meninggalkan sholat



Hidayatullah.com--Rizal, 20, pemuda asal Banda Aceh ditemukan anak buah

kapal Durban Bridge Senin (3/1) di atas ranting di tengah samudra. Di

tengah laut, pemuda pemberani ini mengaku hanya minum air laut dan air

hujan. Meski begitu, dirinya mengaku tak pernah berhenti membaca doa dan

memohon semoga selamat dari bencana yang dihadapinya. Yang tak kalah

menarik, Rizal mengaku tak pernah meninggalkan sholat di atas samudra itu

hingga dirinya ditemukan.

Seperti dikutip Berita Harian, Rizal mengaku, ketika Tsunami melanda Banda

Aceh pada pagi hari tanggal 26 Desember lalu, dia bersama beberapa temannya

tengah ikut gotong-royong membuat masjid.



"Ketika sedang membuat masjid, tiba-tiba datang anak-anak yang menjerit

sambil mengatakan, 'lari, ombak besar'. Masya-Allah, saya nampak ombak

besar datang lalu terus berlari dan memanjat sebuah gedung dua tingkat.



"Bagaimanapun, ombak yang datang itu terlalu besar sehingga menyebabkan

semua tenggelam, tinggal saya saja. Kemudian, datang lagi ombak yang lebih

besar, setinggi kira-kira 15 meter dan saya terus dihanyutkan ke laut.



"Ketika itu saya lihat mayat di sekeliling saya. Kiri, kanan semuanya mayat

tetapi saya tidak takut, saya cuma terfikir... jangan-jangan orang tua saya

sudah meninggal. Ya sudah, jika orang tua saya sudah meninggal, apa boleh

buat," katanya.



Setelah terapung-apung di atas ranting di tengah lautan selama delapan

hari, pemuda dengan tinggi 1.67 meter dan berat badan 55 kilogram itu

kemudian ditemukan awak Durban Bridge yang berlabuh di Dermaga 21,

Pelabuhan Utara, Malaysia pada jam 7.30 pagi.



Rizal kemudian diantar dengan ambulans ke Rumah Sakit Tengku Ampuan Rahimah

(HTAR), Klang guna mendapatkan perawatan lebih lanjut dan keadaannya

dilaporkan stabil.



Rizal dijumpai anak kapal Durban Bridge, sekitar 100 mil dari pantai Aceh

dengan hanya memakai kemeja jingga dan menggunakan celana pendek hijau tua.

Saat itu, Rizal sedang berdiri di timbunan ranting yang terapung.



Lambaian tangannya ke arah kapal kemudian terlihat anak buah kapal Durban

Bridge. Seorang anak buah kapal kemudian melemparkan pelampung pada Rizal

yang kemudian terpaksa berenang sejauh kira-kira 100 meter untuk

menghampirinya sebelum dibawa naik.



Kapten kapal itu, Liu Xiang Ping, kemudian mengabarkan penemuan pemuda

pemberani itu kepada pihak pemerintah di pelabuhan Northport dengan

mengirimkan email dan meminta supaya persiapan dilakukan setibanya di

pelabuhan.



Saat ditanya mengenai detik paling menyedihkan baginya sepanjang tragedi

itu, Rizal yang masih kelihatan lemah berkata, hatinya amat pilu apabila

melihat sendiri bagaimana ahli keluarganya ditelan tsunami itu.



"Selain itu, saya juga menyaksikan sendiri bagaimana seorang lagi sahabat

saya yang masih selamat dengan berpaut di timbunan batang yang hanyut,

hilang dan lemas hanya dua hari sebelum saya diselamatkan kapal ini.



"Barangkali, kini semua keluarga saya sudah meninggal dunia. Saya tidak

tahu," katanya sambil kesedihan terbayang di wajahnya tetapi segera

ditahannya dengan mengucapkan syukur kepada Allah.



Rizal yang mengalami banyak luka di kedua-dua belah kaki mengatakan,

sepanjang di laut, dia terpaksa berpaut pada ranting yang menjadi

pelampungnya serta minum air hujan dan air kelapa serta makan makanan yang

terapung di dekatanya.



Ketika hanyut, katanya, dia juga melihat beberapa kapal lewat dan mencoba

memberikan isyarat tertentu guna meminta bantuan tetapi jaraknya sangat

jauh sehingga isysaratnya tak terlihat.



Rizal juga bercerita, dia juga jatuh ke laut beberapa kali bersama ombak

yang kuat pada saat kejadian itu tapi kemudian dia sukses berpaut pada

batang ranting yang kemudian dijadikan sebagai pelampungnya hinga dirinya

ditemnukan.



Keajaiban Allah



Ditanya bagaimana dia bisa terselamat sedangkan hanyut lama di laut, Rizal

hanya berujar, "Segalanya berkat izin dan kebesaran Allah. Allah

mengizinkan saya panjang umur... maka ya, saya panjang umur," katanya.



Sementara itu, pejabat kepolisian Northport, Inspektor Polis Bantuan Abdul

Rashid Harun, mengatakan, Rizal memberitahukan, saat di tengah samudra,

Rizal terus membaca doa menahan lapar bahkan tak pernah meninggalkan sholat

sepanjang terapung di laut.



"Cuma, banyak luka di kedua-dua kakinya dan Rizal nampak lemah serta letih.

Tetapi dia boleh berjalan dan bicara," ujar Abdul Rashid.



Pejabat Northport itu pertama kali menerima pesan mengenai penemuan Rizal

melalui email Durban Bridge sekitar jam 9 pagi. Setelah itu, dirinya segera

memerintahkan pada agen kapal, dan petugas dari Pusat Mencari dan

Menyelamat Maritim (MRCC) untuk menjemput korban.



Keajaiban Allah juga terjadi pada Melawati (23). Jum'at lalu, wanita asal

Nunggayo Tenaom, Aceh Jaya ini ditemukan selamat setelah terapung selama

enam hari di lautan Hindia oleh sebuah perahu bot nelayan Malaysia yang

tengah menangkap ikan tuna.



Melawati kemudian diantar ke Pelabuhan Tuna Antarabangsa Malaysia Batu

Maung, Pulau Pinang sekitar jam 2 petang, Senin (3/1) lalu. (Berita Harian)



From : DT milis